Beberapa partai politik ( parpol) parlemen sudah membentuk koalisi buat Pemilihan Presiden ( Pilpres) 2024. Tetapi gimana dengan kemantapan serta kesolidan mereka? Koalisi itu rawan bubar. Kemudian apa pemicunya?


Baca juga: 2024 Terdapat Mungkin PKB Berkoalisi Dengan Nasdem

Sebagian yang telah mendeklarasikan merupakan Koalisi Indonesia Baru ( KIB) yang terdiri atas Partai Persatuan Pembangunan ( PPP), Partai Golkar, serta Partai Amanat Nasional ( PAN). Berikutnya koalisi Kebangkitan Indonesia Raya ( KIR) yang berisikan Partai Gerindra serta Partai Kebangkitan Bangsa ( PKB).


Sselanjutnya penjajakan koalisi 3 partai ialah Partai NasDem, Partai Demokrat, serta Partai Keadilan Sejahtera ( PKS) yang sepanjang ini mempunyai kesepahaman soal satu nama wujud capres yang hendak diusung. Kerja sama mereka buat Pilpres 2024 digadang bakal bernama Koalisi Pergantian.


Sedangkan PDI Perjuangan, salah satunya parpol yang dapat mengusung capres sendiri, belum membagikan sinyal kokoh buat bergabung ke koalisi mana juga.


Hasil survei terkini dari LSI Denny JA memproyeksikan 4 pimpinan partai politik bakal jadi“ king maker” ataupun penentu peta politik pada Pilpres 2024. Mereka merupakan Pimpinan Universal PDIP Megawati Soekarnoputri, Pimpinan Universal Partai Gerindra Prabowo Subianto, Pimpinan Universal Partai NasDem Surya Paloh, serta Pimpinan Universal Partai Golkar Airlangga Hartarto.


LSI menyebut keempat tokoh politik yang pula pimpinan universal di partai tiap- tiap tersebut hendak memastikan jumlah poros koalisi.


Menyikapi perihal tersebut, Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul Jamiluddin Ritonga memperhitungkan kesempatan soal koalisi buat Pilpres 2024 mendatang. Baginya, komunikasi buat Pilpres 2024 masih cair, sehingga masih senantiasa terdapat kesempatan koalisi yang telah tercipta juga buat bubar sampai tenggat waktu registrasi capres- cawapres yang diusung.


“ Kesempatan bubar terdapat pasti, sebab sesungguhnya koalisi antar mereka masih cair, belum terdapat jalinan sangat kokoh. Aku memandang mungkin bubar buat seluruh koalisi salah satuya aspek pada pendamping opsi Capres serta Cawapres,”.


Jamiluddin memperhitungkan peta politik 2024 masih ambigu, sebab masih banyak dilema yang terjalin antarparpol. Ia mencontohkan Koalisi KIB yang belum satu suara soal siapa capres yang hendak diusung. Di satu sisi Golkar dinilai solid buat mengusung Airlangga Hartarto sebagai pimpinan biasanya. Sedangkan PAN mungkin mau mengusung Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.


Setelah itu koalisi KIR, dia menyebut Gerindra masih bersikukuh supaya Prabowo Subianto sebagai pimpinan biasanya buat kembali jadi capres. Juga, PKB pula sama ngototnya supaya Muhaimin Iskandar ataupun Cak Imin pula dapat maju jadi partisipan Pilpres 2024.


Untuk Prabowo, lanjut Jamiluddin, Pilpres 2024 ialah kesempatan terakhir buat jadi presiden, sehingga mungkin besar Prabowo pula takut dalam memilah wujud cawapres yang setelah itu hendak turut menolong mengerek suaranya.“ Sebab itu, Prabowo hendak mencari cawapres yang berpeluang memenangkannya pada Pilpres 2024. Cak Imin pastinya bukan opsi yang pas buat memenangkan Pilpres,” kata ia.


Sebaliknya untuk koalisi NasDem, Demokrat, serta PKS pula dinilai rawan bubar dikala memastikan cawapres yang hendak mendampingi capres Anies Baswedan.“ Perkara yang sama pula hendak dialami KIB serta koalisi NasDem, Demokrat, serta PKS. Mungkin bubar hendak sangat besar apabila salah memilah pendamping capres,” kata Jamiluddin.


Sepanjang ini penjajakan NasDem, Demokrat, serta PKS telah sepaham menimpa wujud capres yang hendak diusung ialah eks Gubernur DKI Anies Baswedan. Tetapi, buat siapa cawapresnya, mereka belum memperoleh satu kesepahaman.


Jamiluddin memperhitungkan apabila NasDem senantiasa ngotot menyodorkan nama eks Panglima Tentara Nasional Indonesia(TNI) Andika Perkasa ataupun Gubernur Jatim KhofifahParawansa, hingga PKS serta Demokrat berpeluang menolaknya. Bagi ia, baik PKS ataupun Demokrat telah pasti pula mau kadernya yang jadi cawapres mendampingi Anies. Sepanjang ini 2 nama yang diunggulkan dari 2 partai itu tiap- tiap merupakan Ketum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono ( AHY) serta Wakil Pimpinan Majelis Syuro PKS Ahmad Heryawan ( Aher).


“ Tetapi perihal itu sampai dikala ini belum pula diputuskan. Apalagi informasinya NasDem senantiasa ngotot menginginkan Andika ataupun Khofifah yang jadi Cawapres Anies. Perihal ini pasti jadi titik rawan bubarnya koalisi NasDem, Demokrat, serta PKS,” ucap Jamiluddin.


Sedangkan PDIP walaupun penuhi parliamentary threshold buat mengusung capres- cawapres sendiri, Jamiluddin menyangsikan mereka hendak berani maju seseorang diri.


Dia menyebut berisiko besar apabila PDIP tidak bergabung dalam koalisi parpol pada Pilpres 2024 mendatang. Dalam posisi tersebut, kata Jamiluddin, PDIP hadapi dilema lumayan susah. Tidak hanya itu di tingkatan internal, PDIP juga belum satu suara bakal mengusung siapa selaku capres nanti.


Terpaut koalisi, PDIP diucap mempunyai kesempatan buat bergabung dengan Gerindra- PKB maupun KIB. Apabila, mereka bergabung dengan koalisi Gerindra- PKB, hingga PDIP wajib merelakan kadernya jadi cawapres Prabowo.


Sedangkan apabila bergabung dengan KIB, suara mereka dinilai kurang menolong PDIP buat memenangi pemilu 2024 nanti.“ Sebab itu terdapat mungkin aku memandang kesempatan PDIP hendak bergandengan tangan dengan Gerindra serta PKB. Dapat jadi Bu Megawati mengalah, supaya anaknya, Puan, maju Cawapres, namun senantiasa mereka hendak jadi penguasa di negara ini,” ucap Jamiluddin.


“ Jika seandainya PKB tidak ingin turut, toh koalisi Gerindra- PDIP hendak senantiasa terwujud. Nah, Cak Imin ini politikus sangat pragmatis. Bagi aku, buat ia sepanjang itu menuntunkan[kemenangan], mereka hendak bergabung ke partai manapun. Sepanjang kalkulasi Cak Imin memandang apakah pendamping berpotensi menang pilpres,” imbuhnya.


Jamiluddin mewanti- wanti kalau modal utama dalam Pilpres 2024 merupakan figur capres serta cawapres yang hendak diusung, tidak lagi melulu soal elektabilitas parpol. Oleh karena itu, koalisi wajib betul- betul memikirkan secara matang mana saja kader parpol ataupun tokoh politik yang mempunyai elektabilitas paling tinggi.


“ Sebab Pilpres itu pada personal bukan kepada yang menunjang, sejarah pilpres Indonesia begitu. Contohnya SBY tahun 2004 itu partai yang mengusung elektabilitasnya rendah, namun elektabilitasnya SBY kan besar dikala itu,” kata mantan Dekan Fikom ISSIP Jakarta ini.


Tidak jauh berbeda, Pengamat Politik Tubuh Studi serta Inovasi Nasional ( BRIN) Wasisto Raharjo Jati memperhitungkan peta politik pada Pilpres 2024 mendatang hendak sangat tergantung pada kandidat capres serta cawapres yang diusung. Keadaan itu membuat koalisi yang terdapat ataupun tengah dijajaki dikala ini gampang sekali berpisah ataupun apalagi loncat koalisi.


Sepanjang ini belum terdapat konvensi satu suara terpaut capres serta cawapres yang diusung dari tiap- tiap bakal koalisi. Wasisto lalu menganjurkan supaya koalisi lebih teliti dalam mengusung nama Capres yang sepatutnya berasal dari wujud dengan elektabilitas besar di warga, alih- alih mengutamakan pentolan parpol serta sebagainya.


“ Sebab saat ini merupakan masa personalisasi politik. Sehingga kemampuan rusak itu terdapat manakala tidak terdapat konsensus internal yang mengikat serta komitmen berkoalisi yang mengendur,”.


Wasisto memperhitungkan buat dikala ini posisi koalisi yang tercipta lumayan setara serta balance. Tetapi yang jadi parameter eksistensi mereka di warga merupakan sepanjang mana koalisi parpol solid serta baik dalam memastikan nominasi capres ataupun konsolidasi internal.


Alasannya, kata ia, publik juga dapat memandang munculnya dilema politik yang terjalin di antara parpol, spesialnya dikala memastikan Capres yang hendak diusung. Keadaan itu hendak dengan gampang membuat parpol dalam koalisi memilah hengkang apabila keputusan akhir tidak cocok dengan‘ selera’.“ Aku pikir kemampuan berganti itu terdapat, terlebih lagi sebagian koalisi masih mengalami dilema soal nominasi calon yang hendak diusung,” ucapnya. 

Post a Comment