Tudingan kalau Presiden Joko Widodo membangun dinasti politik kembali mencuat sehabis anak bungsunya, Kaesang Pangarep, mengatakan kemauan buat terjun ke dunia politik. Pengamat politik berkata dinasti politik ialah” upaya mengamankan diri” sehabis seseorang petahana tidak berprofesi lagi serta pada keadaan tertentu dapat jadi” contoh kurang baik”.


Gibran Rakabuming Raka, kakak kandung Kaesang, berkata adiknya mengincar jabatan” eksekutif”. Perihal itu ia ungkap sehabis mendatangi suatu kegiatan groundbreaking di Solo.


” Mulai dari eksekutif tingkat dasar, masa langsung presiden. DPRD enggak, tetapi eksekutif,” kata Gibran, semacam dilaporkan wartawan Fajar Sodiq buat BBC News Indonesia.


Kala ditanya apakah Kaesang hendak maju selaku wali kota Solo, Gibran memohon wartawan bertanya langsung kepada Kaesang.


Terpaut timbulnya tudingan kalau Jokowi lagi membangun dinasti politik sebab anak- anaknya saat ini menjajaki jejaknya, Gibran tidak ambil pusing sebab hasilnya dapat menang ataupun kalah.


“ Kan tidak terdapat keharusan memilah Kaesang. Kaesang pula tidak ditunjuk. Tanya Kaesang saja,” ucapnya.


Baca juga:

Ada Yang Mengancam Megawati Jika Ganjar Tidak di Jadikan Capres 2024, Siapakah yang Berani Mengancamnya?

Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada(UGM), Mada Sukmajati, memperhitungkan dinasti politik merupakan“ fenomena biasa” serta belum pasti jadi jaminan berhasil untuk penerus dinasti tersebut.


Di sisi lain, pengamat politik dari Universitas Indonesia(UI) Aditya Perdana membetulkan kalau dinasti politik dapat jadi“ pembuka jalur” serta penerus dinasti hendak memperoleh” privilese”.


Dewan Pembina Perkumpulan buat Pemilu serta Demokrasi(Perludem), Titi Anggraini, berkata” pada dasarnya seluruh orang berhak buat terjun ke dunia politik”, namun pada keadaan tertentu dinasti politik hendak” jadi contoh kurang baik untuk budaya serta ekosistem politik”.


Secara teoritis, kata pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada(UGM), Mada Sukmajati, dinasti politik digunakan selaku strategi pertahanan sehabis seseorang petahana tidak berprofesi lagi dan dapat jadi strategi buat memperluas sokongan politik.


“ Ini dapat dalam konteks buat mengamankan kerabatnya yang lagi jadi petahana ataupun dalam konteks yang lebih jangka panjang, yang bersangkutan sendiri yang hendak memperebutkan jabatan,” kata Mada.


Dinasti politik pula dapat dijadikan strategi buat mempertahankan bukti diri, kata Mada meningkatkan. Umumnya, ini terjalin pada kelompok- kelompok“ yang berbasis kepada agama, etnis, serta kedaerahan”.


Di Indonesia, dinasti politik terjalin di tingkat nasional hingga regional serta itu“ bukan fenomena baru”.


Di tataran nasional, Mada mengatakan dinasti Soekarno, Soeharto, SBY. Sedangkan di regional terdapat di Banten, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, hingga ke Ambon serta Papua.


Walaupun demikian, dosen Ilmu Politik UGM itu berkata tidak lalu terdapat“ model yang baku” yang dapat membenarkan apakah dinasti politik bakal berakibat“ bagus ataupun tidak terhadap kinerja pemerintahan” ataupun dalam skala luas terhadap“ demokrasi”.


Baca juga:

PKS Sepakat Duet Antara Anies- Khofifah di Pilpres 2024

Itu, lagi- lagi, bergantung sang penerus dinasti.


“ Belum pasti pula yang bersangkutan dapat jadi pemimpin yang mumpuni sebab terdapat banyak proses ataupun dinamika yang dirasakan. Jika tidak mempunyai leadership ya tidak hendak dapat lewat fase- fase tes ataupun tantangan,” ucap Mada yang menyebut dinamika politik di Indonesia sangat keras.


Ia meningkatkan, keberhasilan suatu dinasti politik di Indonesia pula masih tergantung pada“ kontrol serta anggapan publik” sebab terus menjadi lama“ publik telah terus menjadi rasional”.


Senada dengan Mada, Direktur Eksekutif Algoritma Research and Consulting, Aditya Perdana, pula berkata“ warga kita pintar” sehingga tidak begitu saja langsung menunjang kanak- kanak yang menjajaki jejak bapaknya.


“ Publik hendak memandang pula kerjanya semacam apa, dekat ataupun tidak sama warga, ingin ataupun tidak mengayomi,” kata Aditya.


Meski tidak bisa dimungkiri kalau dinasti politik ialah suatu privilese yang dikira selaku“ titik masuk” ataupun“ pembuka jalur”.


Serta sebagian besar politikus yang berasal dari dinasti, kata Aditya, mempunyai ekspedisi politik yang lebih gampang. Terlebih bila pada kesimpulannya mereka terletak dalam partai yang sama.


” Bagi aku, jalannya betul- betul seperti jalur tol sebab jejaring dari orang tuanya hendak dimanfaatkan oleh orang tuanya sendiri, terlebih ayahnya telah pensiun. Jadi jalan itu hendak dibukakan, dimaksimalkan, serta kemungkinannya sukses,” ucap Aditya.


” Apakah setelah itu ia hendak sesukses ayahnya, nah itu yang tidak kita ketahui,” tambanya.


Di sisi lain, orang- orang yang biasa saja, tidak berangkat dari dinasti politik, jalannya” tidak mudah serta berliku- liku” ataupun apalagi” hendak mentok”, bagi analisa Aditya.


Walaupun Titi Anggraini berkata” seluruh orang berhak buat terjun ke dunia politik”, namun dinasti politik dapat mendatangkan permasalahan buat partai serta buat demokrasi itu sendiri.


Karena, politisi yang mempunyai jaringan kekerabatan" kerap mengabaikan" proses kaderisasi serta demokrasi di internal partai.


" Sehingga banyak keistimewaan berbentuk jalan kilat buat menduduki posisi berarti serta strategis dalam struktur partai yang mereka peroleh tanpa lewat proses kaderisasi maupun rekrutmen politik demokratis yang bermakna,” kata Titi.


Baca juga:

Ganjar Presiden RI 2024, Maka PDIP Bisa di Ambil Alih oleh Jokowi.

Ia menyebut perihal itu selaku salah satu“ penyakit bawaan politisi dengan jejaring dinasti”.


Kala itu dicoba oleh” figur yang jadi sorotan publik”, perihal itu hendak menguatkan stigma terhadap partai yang tidak demokratis serta merendahkan keyakinan publik terhadap partai selaku institusi publik.


” Dampaknya pula dapat tereskalasi ke mutu pejabat publik dari partai yang tidak kompeten serta jauh dari mutu kepemimpinan yang bermutu,” ucap Titi. 

Post a Comment